RADEN
MAS SURYOPRANOTO (1871-1959)
R.
M. Suryopranoto dilahirkan pada tahun 1871 di Yogyakarta. Beliau adalah anak
dari Pangeran Sastraningrat dan cucu Pakualam III, ia juga kakak dari Ki Hajar
Dewantara. Sewaktu kecil R.M. Suryopranoto bernama Iskandar.
Setamat
dari OSVIA Magelang dan Sekolah Pertanian Bogor, ia bekerja di Jawatan
Penerangan dan Bentuan Pertanian di tempatkan di Wonosobo, saat itu ia menjabat
sebagai Kepala Dinas Pertanian. Pada tahun 1914 ia dipecat sebagai Kepala Dinas
Pertanian dengan alasan ia tidak mau lagi bekerja sama dengan pemerintah Hindia
Belanda.
Di kantor Kontrolir terjadi keributan besar karena seorang pegawai inlader (pribumi) menempeleng seorang atasannya, orang belanda. Akibatnya pegawai pribumi tersebut harus keluar dari kantornya.
Suryopranoto
memprotes tindakan tersebut, ia sangat menentang kekuasaan belanda karena
dianggap merugikan orang pribumi dan pemerintah Indonesia saat itu.
Aktivitas
Suryopranoto ditandai dengan mendirikan sekolah Adhi Dharma. Adiknya, Suwardi
Suryaningrat yang kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara ikut serta.
Pengajaran di sekolah itu didasarkan dengan metode Montessori-Tagore yang di
sesuaikan dengan keadaandan kebutuhan masyarakat Indonesia. Pada intinya metode
ini bertujuan untuk melepaskan ikatan-ikatan yang sangat menyempitkan budi
manusiaaaa dan menurunkan derajat kemanusiaan. Agar kebebasan yang di
praktikkan di sekolah dikaitkan dengan kegiatan di luar sekolah atau di tengah
masyarakat. Hal itu sebagai bagian dari usaha unntuk membela penduduk pribumi
yang menderita akibat struktur pemerintah kolonial.
Pada
tahun 1919 Suryopranoto mengetuai serikat-serikat sekerja pegadaian yang ada
untuk memberikan dukungan dan pengarahan. Ia juga mendirikan serta memimpin PFB,
yaitu serikat pekerja gula pada tahun yang sama. Kepemimpinan itu didukung oleh
H.O.S. Tjokroaminoto, Abdul Muis dan Haji Agus Salim.
Pada
tahun 1922, terjadilah pemogokan tiga ribu karyawan pegadaian. Akibatnya ribuan
buruh dipecat oleh pemerintah kolonial Belanda. Lalu Suryopranoto mendirikan
yayasan untuk menolong keluarga buruh yang dipecat oleh pemerintah kolonial
Belanda. Belanda sangat marah dengan tindakan Suryopranoto tersebut sehingga
Suryopranoto di penjara.
Pada
tahun 1923, ia dipenjarakan di Malang, tiga tahun berikutnya di semarang, dan
tahun 1933 di penjara Sukamiskin, Bandung. Keprihatinan dan keterlibatannya
pada pekerja-pekerja kecil menjadikannya
tokoh panutan dari golongan buruh. Ia mendapat julukan Stakinskoning (Raja Pemogokan) dari pemerintah Belanda.
Sebagai
salah seorang pemimpin, Suryopranoto sangat memperhatikan kehidupan para
pekerja yang dipimpinnya. Didirikannya Komite Hidup Merdeka di Yogyakarta, ia
bertindak sebagai ketua dan adiknya Suwardi Suryaningrat sebagai sekretarisnya
dengan anggota seperti Haji Fachruddin (dari Muhammadiyah) dan Haji Agus Salim
(dari SI). Tujuannya adalah untuk memdidika manusia Indonesia yang sebagian
besar masih hidup dalamm sikap ketergantungan terhadap pemerintah kolonial
Belanda menjadi manusia bebas dan merdeka. Hal itu dilakukan dengan melakukan
perjuangan lewat perbuatan nyata. Disamping itu, didirikan tempat-tempat kerja
kerajinan rumah tangga bagi istri para pemogok, mengorganisasi pengajaran
praktis, tempat-tempat kerja untuk perniagaan dan kerajinan kaum pria pemogok,
dan usaha mendirikan sekolah guru. Sikapnya yang tidak kompromi dengan penjajah
itu masih ditunjukkan pada masa pendudukan Jepang.
Ketika
negara benar-benar merdeka, di usianya yang sudah tergolong senja, ia tetap
berperan sebagai pendidik. Dia memberikan kursus politik kepada para pemuda di
lingkungannya. Memasuki tahun 1949, di usianya yang makin lanjut ia
menghentikan sama sekali kegiatannya. Hari demi hari masa pensiunnya itu
dilalui dengan tenangg sampai tanggal 15 Oktober 1959 ia menutup mata untuk
selama-lamanya di Cimahi, Jawa Barat. Jenazah bangsawan pejuang itu dibawa ke
tanah kelahirannya dan dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta.
DAFTAR
PUSTAKA
Soedarmanta.
2006. Jejak-jejak Pahlawan.
Jakarta:Grasindo.
.
2008. Ensiklopedia Pahlawan Indonesia
dari Masa ke Masa. Jakarta: Grasindo.
0 komentar:
Posting Komentar