A. Langkah-Langkah
Mengenali atau Menemukan Anak Berkebutuhan Khusus
1. Identifikasi
Identifikasi adalah usaha untuk mengenali atau menemukan anak berkebutuhan
khusus sesuai dengan ciri-ciri yang ada. Identifikasi yang dilakukan untuk
menemukenali keberadaan anak berkebutuhan khusus di SD berorientasi pada
ciri-ciri atau karakteristik yang ada pada seorang anak yang mencakup hal-hal
sebagai berikut:
a.
Kondisi Fisik
Mencakup keberadaan kondisi fisik secara keseluruhan (anggota tubuh) dan
kondisi indera seorang anak, baik secara organik maupun fungsional, apakah
kondisi yang ada mempengaruhi fungsinya atau tidak.
b.
Kemampuan Intelektual
Mencakup kemampuan anak dalam
menyelesaikan tugas-tugas akademik di sekolah.
c.
Kemampuan Komunikasi
Mencakup kesanggupan seorang anak dalam
memahami dan mengekspresikan gagasannya dalam berinteraksi terhadap lingkungan
sekitar, baik secara lisan maupun tulisan.
d.
Sosial emosional
Mencakup aktivitas sosial yang dilakukan
seorang anak dalam kegiatan interaksinya dengan teman-teman maupun dengan
gurunya serta perilaku yang ditampilkan dalam pergaulan kesehariannya.
Ada beberapa teknik identifikasi secara
umum, yang memungkinkan guru-guru untuk melakukannya sendiri di sekolah.
Teknik-teknik tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Observasi
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan
langsung terhadap suatu obyek dalam suatu periode tertentu dan mengadakan
pencatatan secara sistematis tentang hal-hal tertentu yang diamati termasuk
anak berkebutuhan khusus.
b.
Wawancara
Wawancara adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan mengajukan
pertanyaan secara lisan kepada sumber data, dan sumber data memberikan jawaban
secara lisan. Guru dapat melakukan wawancara terhadap siswa, keluarga,
orangtua, teman seperrmainan, atau pihak lain yang dimungkinkan untuk dapat
memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan siswa tersebut.
c.
Tes
Tes merupakan suatu cara untuk melakukan penilaian yang berupa suatu tugas
yang harus dikerjakan oleh anak, yang akan menghasilkan suatu nilai tentang
kemampuan atau perilaku anak yang bersangkutan. Untuk mengidentifikasi anak
berkebutuhan khusus tes dapat dilakukan dalam bentuk perbuatan maupun tulisan.
Dalam hal ini tes berupa buatan guru sendiri.
d.
Tes Psikologi
Tes psikologi yaitu tes yang sangat popular dan sering digunakan dalam
upaya identifikasi anak berkebutuhan khusus, karena memiliki akurasi yang lebih
baik dari tes buatan guru, waktu pelaksanaan tes lebih singkat, dan dapat
memprediksi apa-apa yang akan terjadi dalam belajar anak di tahap berikutnya.
Untuk melihat tingkat kecerdasan seorang anak, tes psikologi merupakan salah
satu instrumen yang lebih objektif dan validitasnya telah teruji. Tes psikologi
tidak hanya terbatas pada tes kecerdasan saja, tetapi juga digunakan untuk
mengetahui kepribadian, perilaku, dan bakat khusus seseorang.
2.
Assesmen
Asesmen adalah penilaian terhadap suatu keadaan, penilaian terhadap kondisi
atau keadaan anak berkebutuhan khusus. Asesmen merupakan kelanjutan dari identifikasi.
Hasil yang diperoleh dari asesmen pendidikan akan bermanfaat bagi guru sebagai
panduan dalam dua hal pokok, yaitu perencanaan program dan implementasi program
pembelajaran. Informasi yang dikumpulkan dalam asesmen hendaknya relevan dan
komperhensif karena akan digunakan merencanakan tujuan dan penentuan sasaran
pembelajaran serta strategi pembelajaran yang tepat. Assesmen bertujuan untuk:
a.
Menyeleksi anak-anak yang termasuk anak
berkebutuhan khusus.
b.
Menempatkan siswa sesuai dengan
kemampuannya.
c.
Merencanakan program dan strategi
pembelajaran.
d.
Mengevaluasi dan memantau perkembangan
belajar siswa.
Langkah-langkah dalam assesmen sebagai berikut:
a.
Menentukan cakupan dan tahapan
keterampilan yang diajarkan.
b.
Menetapkan perilaku yang diases.
c.
Memilih aktivitas evaluasi (evaluasi
khusus atau umum).
d.
Pengorganisasian alat evaluasi.
e.
Pencatatan kinerja siswa.
f.
Penentuan tujuan pembelajaran khusus untuk
jangka panjang dan jangka pendek.
Teknik pelaksanan assesmen
a.
Observasi
Mencakup pengamatan yang dilakukan secara
seksama terhadap aktivitas belajar siswa, seperti cara belajar, kinerja,
perilaku, atau kompetensi yang dicapai.
b.
Tes Formal
Merupakan suatu bentuk tes yang telah
distandarkan, yang memiliki acuan norma atau patokan dengan tolak ukur yang
telah ditetapkan. Dalam konteks asesmen pendidikan anak berkebutuhan khusus
sesungguhnya kurang cocok dilakukan karena tujuannya yang sangat spesifik
mencakup persoalan-persoalan pendidikan yang unik yang dihadapi siswa
berkebutuhan khusus secara individual.
c.
Tes Informal
Merupakan tes yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang berbagai
hal yang berkenaan dengan kompetensi dan kemajuan belajar anak berkebutuhan
khusus yang disusun oleh guru. Tes ini digunakan secara intensif untuk
mengetahui kompetensi-kompetensi khusus pada anak.
d.
Wawancara
Merupakan usaha memperoleh informasi
tentang anak anak berkebutuhan khusus dengan sasaran utama orangtua, keluarga,
guru di sekolah, ataupun teman sepermainan.
B. Cara
Menangani atau Memberikan Layanan bagi Anak Berkebutuhan Khusus Sesuai
Kebutuhannya
1. Pendekatan
Layanan bagi ABK
Secara umum, ada dua pendekatan yang sering dilakukan dalam memberikan
layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu pendekatan
kelompok/klasikal, dan pendekatan individual.
Pendekatan kelompok, memiliki kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan
biaya. Sedangkan kelemahananya berkenanaan dengan efektifitas pembelajaran,
yang sudah kurang efektif untuk anak – anak berkebutuhan khusus dalam
pencapaian tujuan kompetensinya.
Pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang diharapkan akan lebih baik dan lebih efektif,
sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anak. Selain itu, guru juga
akan mudah memantau perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai, serta
memberikan bantuan yang dibutuhkan.
Selain pendekatan individu dan pendekatan kelompok, bagi anak berkebutuhan
ada pendekatan lain yang berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, yaitu pendekatan
remidial dan pendekatan akseleratif.
Pendekatan remidial bertujuan untuk
membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang
ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada
anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendekatan akseleratif bertujuan
untuk mendorong anak berkebutuhan khusus, utamanya anak berbakat untuk lebih
lanjut menguasai kompetensi yang ditetapkan berdasar assesmen kemampuan anak.
2. Layanan
bagi Anak Berkelainan Fisik
Anak-anak berkebutuhan khusus yang
mengalami kelainan fisik, meliputi : anak tunanetra, anak tunarungu, dan anak
tunadaksa membutuhkan layanan pendidikan dengan pendekatan dan strategi khusus,
yang secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.
Anak Tunanetra
Strategi khusus dan isi layanan pendidikan
bagi anak tunanetra menurut Hardman, M.L. dkk (1990) paling tidak meliputi 3
hal, yaitu:
(a)
mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan dan
orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta latihan
keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan pemahaman uang,
belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan membersihkan ruangan;
(b) tradisional curriculum content area,
yaitu orientasi dan mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya,
keterampilan berhitung;
(c) communication media, yaitu penguasaan
braille dalam komunikasi.
Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (1995) menyatakan bahwa layanan
khusus bagi anak tunanetra meliputi:
(a)
Penguasaan braille
Penguasaan braille yang dimaksud adalah
kemampuan untuk menulis dan membaca braille.
(b)
Latihan orientasi dan
mobilitas
Latihan orientasi dan mobilitas adalah
jalan dengan pendamping awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan
menggunakan alat bantu jalan (tongkat dan sign guide).
(c)
Penggunaan alat bantu
dalam pembelajaran berhitung
Meliputi cubaritma, papan taylor frame,
abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian,
dan beberapa komsep matematikan braille.
b.
Anak Tunarungu
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tuna rungu adalah terletak pada
pengembangan persepsi bunyi dan komunikasi. Hallahan dan Kauffman, (1988)
menyatakan bahwa ada tiga pendekatan umum dalam mengajarkan komunikasi anak
tunarungu, yaitu:
(a)
Auditory training
(b)
Speechreading
(c)
Sing language and
fingerspelling
Ada beberapa cara dalam
mengembangkan kemampuan komunikasi anak tunarungu, yaitu:
1.
Metode oral, yaitu cara
melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan
lingkungan orang mendengar.
2.
Membaca ujaran.
Membaca ujaran yaitu suatu kegiatan
yang mencakup pengamatan visual dari bentuk dan gerak bibir lawan bicara
sewaktu dalam proses bicara. Membaca ujaran mencakup pengertian atau pemberian
makna pada apa yang diucapkan lawan bicara di mana ekspresi muka dan
pengetahuan bahasa turut berperan. Ada beberapa kelemahan dalam menerapkan
membaca ujaran, yaitu
(1) tidak semua bunyi bahasa dapat terlihat pada
bibir,
(2) ada
persamaan antara berbagai bentuk bunyi bahasa, misalnya bahasa bilabial
(p,b,m), dental (t,d,n) akan terlihat mempunyai bentuk yang sama pada bibir,
(3) lawan bicara harus berhadapan dan tidak terlalu
jauh,
(4) pengucapan
harus pelan dan lugas.
3.
Metode manual.
Metode manual yaitu cara mengajar atau melatih anak tunarungu berkomunikasi
dengan isyarat atau ejaan jari. Bahasa isyarat mempunyai beberapa komponen,
yaitu
(1) ungkapan badaniah;
(2) bahasa isyarat lokal; dan
(3) bahasa isyarat formal.
4.
Ejaan jari.
Ejaan jari adalah penunjang bahasa isyarat dengan menggunakan ejaan jari.
Ejaan jari secara garis besar dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu (1)
ejaan jari dengan satu tangan (onehanded), (2) ejaaan jari dengan kedua tangan
(twohanded), dan (3) ejaan jari campuran dengan menggunakan satu tangan atau
dua tangan.
5.
Komunikasi total.
Komunikasi total merupakan upaya perbaikan dalam mengajarkan komunikasi
bagi anak tunarungu. Komunikasi total merupakan cara berkomunikasi dengan
menggunakan salah satu modus atau semua cara komunikasi yaitu penggunaan sistem
isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran, amplifikasi, gesti, pantomimik,
menggambar dan menulis serta pemanfaatan sisa pendengaran sesuai kebutuhan dan
kemampuan seseorang.
c.
Anak Tunadaksa
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tunadaksa adalah pada bina
gerak. Untuk memberikan layanan bina gerak yang tepat diperlukan dukungan
terapi, khususnya fisioterapi untuk memulihkan kondisi otot dan tulang anak
agar tidak semakin menurun kemampuannnya. Selain itu dukungan untuk bina diri diperlukan
terapi okupasi dan bermain. Menurut Frieda Mangunsong, dkk (1998) layanan
pendidikan bagi anak tunadaksa perlu memperhatikan tiga hal, yaitu :
(a)
Pendekatan
multidisipliner dalam program rehabilitasi anak tunadaksa.
(b)
Program pendidikan
sekolah.
(c)
Layanan bimbingan dan
konseling
Dalam program rehabilitasi dikenal
empat stadium, yaitu pertama, stadium akut antara 0 – 6 minggu sejak menderita.
Pada stadium ini merupakan stadium “survival”, berjuang untuk bertahan hidup.
Kedua, stadium sub acut: 6 – 12 minggu, merupakan stadium perawatan rutin,
pemberian fisioterapi dan terapi okupasi agar perkembangan otot dapat pulih dan
tumbuh walaupun minimal. Ketiga, stadium mandiri; pada stadium ini anak lebih
diarahkan untuk memperoleh keterampilan kerja untuk kehidupan mendatang.
Keempat, stadium “after care”; pada stadium ini anak dipersipkan kembali ke
rumah atau ke sekolah untuk mengikuti program pendidikan selanjutnya.
Sunarya Kartadinata, (1998/1999)
menyatakan bahwa anak tunadaksa perlu mengembangkan self-respect, yaitu
menghargai diri sendiri dengan cara menerima diri sesuai dengan apa adanya,
sehingga anak merasa bahwa dirinya adalah sebagai seorang pribadi yang
berharga.
3. Layanan
bagi Anak Berkelainan Mental Emosional
Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus yang mengalami kelainan mental-emosional meliputi anak tunagrahita dan
anak tunalaras.
a.
Anak Tunagrahita
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunagrahita lebih diarahkan pada
pendekatan indivudual dan pendekatan remidiatif. Pendekatan individual
didasarkan pada asesment kemampuan anak untuk mengembangkan sisa potensi yang
ada dalam dirinya. Tujuan utama layanan pendidikan bagi anak tunagrahita adalah
penguasaan kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mengelola diri
sendiri. Untuk mencapai itu perlu pembelajaran mengurus diri sendiri dan
pengembangan keterampilan vocational terbatas sesuai dengan kemampuannnya.
Layanan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita meliputi latihan sensomotorik,
terapi bermain dan okupasi, dan latihan mengurus diri sendiri. Pendekatan
pembelajaran dilakukan secara individual dan remidiatif. Perkembangan kemampuan
anak berdasarkan tingkat kemampuan kognitifnya. Anak yang ber IQ 55 – 70
berbeda dengan yang ber IQ 35 – 55. dalam sebaran IQ tersebut juga berbeda
dalam layanan masing-masing.
Pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita/retadasi mental dapat diberikan
pada:
(a)
Kelas Transisi
Kelas transisi merupakan kelas persiapan
dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan
anak.
(b)
Sekolah Khusus (Sekolah
Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C, C1).
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini
diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan
pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama
keampuannya (tunagrahita). Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di
SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
Pendidikan terpadu Layanan pendidikan pada model ini
diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama
dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk
matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan
mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB
terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di
sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk
kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam
belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow
Learner).
(c)
Program sekolah di rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang
tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya,
misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB
(GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua,
sekolah, dan masyarakat.
(d)
Pendidikan inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk
anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan
Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi
anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusif
diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan
anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi,
siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru
khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika
anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan
mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan
inklusif masih dalam tahap rintisan.
(e)
Panti (Griya)
Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat
berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya
memiliki kelainan ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program
di panti lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam panti ini terbatas
dalam hal :
1)
Pengenalan diri
2)
Sensorimotor dan
persepsi
3)
Motorik kasar dan
ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain)
4)
Kemampuan berbahasa dan
dan komunikasi
5)
Bina diri dan kemampuan social
b.
Anak Tunalaras
Khusus untuk kelainan perilakunya, pendekatan pendidikan bagi anak
tunalaras menggunakan pendekatan bimbingan dan konseling serta terapi.
Pendekatan terapi yang sering digunakan untuk layanan pendidikan anak tunalaras
menurut Hardman, M.L. dkk (1990) adalah:
1)
Insight-oriented
thterapies
2)
Play therapy
3)
Group therapy
4)
Behavior therapy
5)
Marital and Family
therapy
6)
Drug therapy
Penggunaan pendekatan terapi sangat bergantung pada jenis dan tingkat
problem perilaku yang dimiliki oleh anak tunalaras. Selain pendekatan terapi,
dalam pembelajaran khusus untuk anak tunalaras adalah bina pribadi-sosial anak.
Mata pelajaran ini diarahkan untuk membina perilaku positif anak tunalaras
dalam kaitannya dengan perilaku dirinya dan perilaku dalam berhubungan dengan
orang lain.
4. Layanan
bagi Anak Berbakat dan Anak Berkesulitan Belajar
a.
Anak Berbakat
Layanan pendidikan bagi anak berbakat di sekolah dasar
dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap penjaringan (sreening) dan tahap
seleksi (identifikasi) (Sunarya kartadinata, dkk, 1998/1999). Dalam tahap
penjaringan dilakukan oleh guru dengan menganalisis hasil belajar anak dan
menganalisis hasil observasi komitmen anak akan tugas dan kreativitasnya.
Mereka yang mempunyai kreativitas tinggi, komitmen akan tugas yang tinggi, dan
prestasi belajar di atas rata-rata dipromosikan sebagai anak berbakat. Langkah
selanjutnya adalah kerjasama dengan psikolog dan konselor untuk menentukan IQ
dan bakat anak.
Setelah teridentifikasi keberbakatan anak, langkah
selanjutnya adalah menentukan layanan pendidikan bagi mereka. Ada berbagai
macam layanan pendidikan bagai anak berbakat, yaitu:
1)
Layanan akselerasi,
yaitu layanan tambahan untuk mempercepat penguasaan
kompetensi dalam merealisasi bakat anak.
2)
Layanan kelas khusus,
yaitu anak yang berbakat unggul dikelompokkan dalam satu
kelas dan diberikan layanan tersendiri sesuai dengan bakat mereka.
3)
Layanan kelas unggulan,
sama dengan layanan kelas khusus hanya berbeda dalam model pengayaannnya.
4)
Layanan bimbingan sosial
dan kepribadian
b.
Anak Berkesulitan
Belajar
Pendekatan layanan pendidikan abagi anak berkesulitan
belajar spesifik menurut Jerome Rosner ,1993 dalam Sunarya Kartadinata, dkk
(1998/1999) ada tiga macam, yaitu:
1)
Layanan remidiasi
Dalam layanan remidiasi ini sering digunakan
beberapa teknik dalam modifikasi perilaku, di antaranya dengan pemberian
penguatan, tabungan kepingan, atau teknik lain yang sesuai dengan
kebutuhan anak.
2)
Layanan kompensasi
Layanan kompensasi diberikan dengan cara menciptakan
lingkungan belajar khusus di luar lingkungan belajar yang normal, sehingga
memungkinkan anak memperoleh kemajuan dalam pembentukan perseptual dan bahasa.
3)
Layanan prevensi
Layanan prevensi adalah
layanan yang diberikan sebelum anak mengalami ketunacakapan belajar di sekolah.
Layanan ini diawali dengan melakukan identifikasi terhadap aspek-aspek yang
dimungkinkan menimbulkan atau menyebabkan ketunacakapan belajar.
0 komentar:
Posting Komentar