KONSEP PERNIKAHAN, KELUARGA DAN
MAWARIST
DALAM AGAMA ISLAM
A.
Pendahuluan
Segala sesuatu
yang telah diatur dalam islam memiliki hikmah dan manfaat bagi pelakunya, baik itu
diketahui maupun belum diketahui oleh manusia. Sikap seorang mu'min ketika
sudah jelas datang aturan dari Allah dan Rosul Nya adalah sami'naa wa
atho'naa kami dengar dan kami ta'at, sebagaimana Allah ta'ala jelaskan
dalam Al Qur'an
Surat An-Nuur ayat 51 :
Artinya: :
" Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung."
" Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung."
Pernikahan
merupakan sunatullah yang diberikan bagi hamba-hamba-Nya. Allah sengaja
menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya dalam
Surat Adz-Zariyat:49 yang berbunyi:
تَذَكَّرُونَ لَعَلَّكُمْ زَوْجَيْنِ خَلَقْنَا شَيْءٍ كُلِّ وَمِنْ
Artinya: Dan segala sesuatu
Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.
Rasulullah
saw. Bersabda: “rasa malu, suka wewangian, siwak, dan nikah adalah sunnah para
rasul.” (H.R. Turmudzi)
Anjuran
menikah terdapat dalam Surat An-Nahl: 72 dan Ar-Ruum:21 “Allah menjadikan bagi kamu
istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu
itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. An-Nahl:72).
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Ruum:21)
B.
Konsep
dan aturan Pernikahan dalam Islam dan Aturan Negara
Undang-undang RI
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 1 tertulis “Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Tujuan utama
sebuah pernikahan adalah mengharap ridho Allah, maka dalam setiap kegiatan
rumah tangga harus menjadikan Allah sebagai landasan utama niat, karena niat
adalah sebuah pondasi dari segala bentuk ibadah, "Sesungguhnya amal perbuatan itu
tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung apa yang
ia niatkan..." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Pernikahan harus
didasarkan atas persetujuan kedua mempelai dan kedua orang tua. Jika salah satu
dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin tersebut diperbolehkan hanya dari salah satu orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya. Jika keduanya telah meninggal atau keduanya
tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin dapat diperoleh dari wali, atau
keluarga yang memiliki hubungan darah selama mereka masih hidup dan mampu
menyatakan kehendaknya, namun jika terjadi perbedaan pendapat di antara
orang-orang tersebut, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan pernikahan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengarkan pendapat orang-orang
tersebut.
Pernikahan tidak
akan sah tanpa adanya seorang wali, seperti dalam sebuah hadist menyatakan “ Tidak sah suatu perkara tanpa seorang wali
dan dua orang saksi yang adil. Dan pernikahan manapun yang tidak demikian
adalah batal” (H.R. Ibnu Hibban).
Hadist lain juga
menyatakan “Tiada sah pernikahan kecuali
dengan (hadirnya) wali dan dua orang saksi dan dengan mahar (mas kawin) sedikit
maupun banyak.” (HR. Ath-Thabrani)
C.
Pandangan
Islam Tentang Pernikahan Beda Agama
Laki-laki yang menikah dengan
perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang dimaksud agama samawi atau ahli kitab
disini yaitu orang-orang (non muslim) yang telah diturunkan padanya kitab
sebelum al quran. Dalam hal ini para ulama sepakat dengan agama Injil dan
Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama. Untuk hal
seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam islam. Adapun dasar dari
penetapan hukum pernikahan ini, yaitu mengacu pada al quran, Surat Al
Maidah(5):5, “Pada hari ini dihalalkan
bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk
orang-orang merugi.”
Lelaki muslim menikah dengan
perempuan bukan ahli kitab. Yang dimaksud dengan non muslim yang bukan ahli
kitab disini yaitu kebalikan dari agama samawi (langit), yaitu agama ardhiy
(bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu agama yang kitabnya bukan diturunkan dari
Allah swt, melainkan dibuat di bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk kasus yang
seperti ini, maka diakatakan haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran al
Baqarah(2):222
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Dari al quran al Baqarah(2):221
sudah jelas tertulis bahwa:
"...Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman..."
"...Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman..."
Pernikahan seorang muslim perempuan
sudah menjadi hal mutlak diharamkan dalam islam, jika seorang perempuan tetap
memaksakan diri untuk menikahi lelaki yang tidak segama dengannya, maka apapun
yang mereka lakukan selama bersama sebagai suami istri dianggap sebagai
perbuatan zina.
Pernikahan beda agama juga
menghalangi silsilah dalam kewarisan islam. Dalam hukum kewarisan
Syafi’i, ahli waris yang mempunyai hubungan keluarga dan perkawinan dengan
pewaris jumlahnya ada 23 orang, 14 orang laki-laki dan 9 orang perempuan. Ahli
waris laki-laki tersebut terdiri dari:
1. Anak
laki-laki
2. Cucu
laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
3. Ayah
4. Kakek
dari pihak ayah dan seterusnya ke atas
5. Saudara
laki-laki sekandung
6. Saudara
laki-laki seayah
7. Saudara
laki-laki seibu
8. Anak
laki-laki saudara laki-laki sekandung
9. Anak
laki-laki saudara laki-laki seayah
10. Paman
yang sekandung dengan ayah
11. Paman
yang seayah dengan ayah
12. Anak
laki-laki ayah yang sekandung dengan paman
13. Anak
laki-laki paman yang seayah dengan ayah
14. Suami
atau duda
Jika
ke empat belas orang tersebut ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya tiga
orang saja, yaitu ayah, anak laki-laki dan suami atau duda
Ahli
waris perempuan terdiri dari:
1. Anak
perempuan
2. Cucu
perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah melalui garis laki-laki
3. Ibu
4. Nenek
dari pihak ibu dan seterusnya keatas
5. Nenek
dari pihak ayah
6. Saudara
perempuan sekandung
7. Saudara
perempuan seayah
8. Saudara
perempuan seibu
9. Isteri
atau janda
Jika
ahli waris yang sembilan tersebut ada semua, maka yang berhak mendapat warisan
hanya lima orang saja, yaitu anak perempuan, dudu perempuan, cucu perempuan
dari anak laki-laki, ibu, saudara perempuan sekandung, isteri atau janda.
Jika
semua ahli waris (23 orang) tersebut semuanya ada, maka yang berhak mendapat
warisan hanya lima orang, yaitu anak laki-laki, anak perempuan, ibu, ayah, dan
duda atau janda.
D.
Perceraian
dan Upaya Menghindarinya dalam Keluarga
Cerai (talak)
menurut bahasa berarti melepaskan, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud talak
adalah memutuskan tali pernikahan yang sah baik diwaktu seketika atau dimasa mendatang oleh pihak suami dengan
mengucapkan kata-kata tertentu atau cara yang lain yang dapat menggantikan
kedudukan hal tersebut.
Perceraian dalam
islam adalah sebuah penanggulangan sebuah masalah yang tidak bisa diselesaikan,
maka dalam islam tidaklah ada kebebasan menjatuhkan talak atau menuntut talak
tanpa ada alasan.
Dari
Ibnu ‘Umar r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Perkara halal yang paling dibenci
Allah Azza Wa Jalla adalah talak.” (H.R. Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Al Hakim)
Allah telah
berfirman:
حَكِيمًا وَاسِعًا اللَّهُ وَكَانَ سَعَتِهِ مِنْ كُلا للَّهُا يَتَفَرَّقَا
وَإِنْ
Artinya: Jika keduanya bercerai, maka Allah akan
memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah
Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa’
:130).
Talak
bukanlah sebuah ucapan yang sembarangan dapat dijatuhkan, jika usaha perdamaian
antara kedua pihak telah dilakukan namun tidak berhasil maka ada dua syarat
yang harus dipenuhi, pertama berkaitan dengan pihak penalak (suami) dan yang
kedua berkaitan dengan pihak yang ditalak (isteri).
Talak yang dilakukan karena paksaan oleh pihak lain tidak dapat
dihukumi, sebagaimana Allah tidak menganggap kafir bagi orang-orang yang
dipaksa kafir, sebagaimana firman Allah swt. yang artinya “...kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam
beriman (dia tidak berdosa)...” dan sebuah hadist menyatakan “Tidak sah talak maupun memerdekakan budak
karena terpaksa.” (H.R. Ahmad, Abu
Daud dan Ibnu Majah)
Talak yang diucapkan dengan main-main (bergurau) adalah
benar-benar terjadi, sebagaimana sebuah hadist yang artinya: “dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah
bersabda: ‘Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya menjadi sungguh-sungguh,
dan main-mainnya menjadi sungguhan, yaitu nikah, talak, dan rujuk.’” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan At
Turmudzi)
Menurut riwayat Fudhalah bin ‘Ubaid: “Ada tiga perkara yang tidak boleh diucapkan main-main, yaitu talak,
nikah, dan memerdekakan budak.” (H.R.
At Thabrani)
Talak yang diucapakan oleh orang yang linglung atau orang hilang
akal adalah tidak sah karena tidak ada alasan yang bisa dijadikan sebagai
landasan hukum, sebagaimana talak yang dilakukan dalam keadaan mabuk.
Talak ditinjau dari shighatnya dibagi menjadi talak tegas dan
talak sindiran. Talak tegas yaitu jika kata-kata talak diucapkan dengan jelas
dan dapat dipahami, seperti “aku menceraikanmu” atau “kau dicerai”.
Talak sindiran atau kinayah adalah talak dengan menggunakan
kata-kata yang menurut aslinya tidak berarti menceraikan, seperti “kamu beda
dari biasanya” atau “kamu bukan isteriku lagi”. Talak sindiran tidak
mengakibatkan jatuhnya talak kecuali dengan keterangan yang jelas. Orang yang
mengatakan kata talak kinayah namun ia tidak bermaksud menalak isterinya, maka
talaknya belum jatuh.
Ulama Maliki dan Syafi’i memandang bahwa niatlah yang menjadi
kejelasan arti dalam kinayah, jika diucapkan dengan niat menceraikan maka
terjadilah perceraian, namun jika ucapannya tidak disertai dengan niat
menceraikan maka tidak ada masalah.
Ulama Hambali berpendapat bahwa kata-kata kinayah bisa berakibat
talak, baik dengan niat menceraikan maupun tanpa niat untuk menceraikan. Ulama
Hanafi sependapat dengan Ulama Hambali.
Talak ditinjau dari waktu terjadinya dibedakan menjadi tiga, yaitu
talak munjaz, talak mundhaf, dan talak mu’allaq. Talak munjaz atau perceraian
kontan adalah talak yang diucapkan tanpa syarat maupun penangguhan, seperti
“saya ceraikan kamu”. Kata-kata tersebut berarti menjatuhkan talak seketika.
Talak mundhaf atau perceraian bertangguh adalah ucapan talak yang
dikaitkan dengan waktu, seperti “saya ceraikan kamu besok”. Menurut Abu Hanifah
dan Malik kata-kata talak yang diucapkan maka seketika itu juga perceraian
terjadi.
Menurut Asy Syafi’i dan Ahmad, perceraian bertangguh hanya terjadi
pada penghabisan tahun.
Talak mu’allaq atau perceraian bersyarat adalah talak yang
digantungkan dengan suatu peristiwa yang bakal terjadi di masa yang akan
datang, seperti “jika kamu pergi ke.... kamu akan saya ceraikan”.
Menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i talak mu’allaq yang diucapkan
berarti terjadi perceraian sebenarnya jika isteri melakukan syarat tersebut.
Sedangkan sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa talak yang mu’allaq
dimaksudkan agar isteri meninggalkan atau melakukan suatu perbuatan yang
menjadi syarat tersebut.
Perceraian seperti yang telah disinggung di awal adalah halal
namun dibenci oleh Allah swt. maka ada beberapa upaya untuk mencegah suatu
masalah yang bisa berakibat perceraian.
Raasulullah bersabda: “Ketahuilah,
hendaknya kalian memperlakukan kaum wanita dengan baik, karena sesungguhnya
mereka adalah tawanan bagi kalian. Kalian tidak memiliki hak dari mereka selain
itu. Kecuali jika mereka jelas-jelas melakukan kekejian, maka tinggalkanlah
mereka dan tidurlah secara terpisah. Pukullah mereka dengan pukulan yang tidak
menciderai mereka. Jika mereka taat dan patuh pada kalian, maka jangan
dihalang-halangi jalam mereka. Ketahuilah, kalian mempunyai hak atas isteri
kalian. Hak kalian atas mereka adalah kalian boleh melarang mereka untuk tidak
memasukkan siapapun yang tidak kalian sukai, dan tidak mengizinkan orang-orang
yang tidak kamu senangiuntuk tidak memasuki rumah kalian. Ketahuilah, hak
mereka atas kalian adalah memberikan pakaian dan makanan yang baik kepada
mereka.” (H.R. Ibnu Majah dan
Turmudzi)
Asma’ binti Kharijah al Faraziyah memberi nasihat kepada puterinya:
“Sesungguhnya engkau keluar dari sarang
yang telah mendewasakanmu, lalu pindah ke sebuah tempat tidur yang belum pernah
engkau nikmati, dan kepada seorang teman hidup yang belum pernah engkau kenal.
Maka jadilah kau buminya, niscaya ia akan menjadi langitmu. Dan jadilah engkau
lantainya, maka ia akan menjadi tiangmu. Jadilah engkau hambanya, dia akan
menjadi budakmu. Janganlah engkau terlalu dekat dengan suamimu, nanti dia bisa
bosab terhadapmu. Dan jangan pula menjauhinya sehingga ia melupakanmu. Kalau
dia mendekatimu, maka dekatlah kau kepadanya. Dan kalau dia menjauh, maka
jauhilah dia. Dan pelihara selalu hidung suamimu, telinganya, dan matanya.
Sekali-kali jangan sampai dia mencium darimu selain keharuman. Jangan ada yang
didengar selain perkataan yang baik, dan jangan sampai melihat selain yang
indah belaka.”
Seorang isteri mempunyai kewajiban menjaga kehormatannya.
Rasulullah saw. bersabda: “sebaik-baik isteri adalah perempuan yang
menyenangkan jika dipandang, taat setiap kamu perintah, pandai menaga
kehormatan dirinya dan hartamu sewaktu kamu pergi”. (H.R. Thabrani). Selain itu seorang isteri juga harus berwajah
manis di hadapan suaminya dan patuh terhadap suaminya, sebagaimana Rasulullah
saw. bersabda: “maukah engkau ku beritahu
tentang sebaik-baik simpanan seseorang? Ia adalah wanita yang menyenangkan,
apabila diperintah ia taat, dan apabila suami tiada (dirumah) ia menjaga
kehormatannya”. (H.R. Abu Daud).
Dan di hadist lain“apabila
seorang suami mengajak isterinya, maka penuhilah segera mungkin meskipun ia
sedang berada di dapur.” (H.R.
Turmudzi dan Ibnu Hibban). Bahkan di hadist lain, malaikat melaknat wanita
tersebut. “apabila seorang suami mengajak
isterinya ketempat tidur dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknat
(wanita itu) sampai pagi”. (H.R.
Muttafaq ‘Alaih).
E.
Keluarga
Sakinah, Mawadah dan Warahmah dalam Islam
Dalam bahasa Arab, kata sakinah di
dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, merasa dilindungi, penuh
kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Namun, penggunaan nama sakinah
itu diambil dari al Qur’an surat 30:21, litaskunu
ilaiha yang artinya bahwa Allah SWT telah menciptakan perjodohan bagi
manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain. Jadi keluarga
sakinah itu adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta
kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat,
dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.
Di dalam keluarga sakinah itu pasti
akan muncul mawaddah dan warahmah. Mawaddah
adalah jenis cinta membara yang menggebu-gebu kasih sayang pada lawan jenisnya
(bisa dikatakan mawaddah ini adalah cinta yang didorong oleh kekuatan nafsu
seseorang pada lawan jenisnya). Karena itu, setiap mahluk Allah kiranya
diberikan sifat ini mulai dari hewan sampai manusia. Mawaddah cinta yang lebih
condong pada material seperti cinta karena kecantikan, ketampanan, cinta pada
harta benda, dan lain sebagainya. Mawaddah itu sinonimnya adalah mahabbah yang
artinya cinta dan kasih sayang.
Sedangkan Rahmah (dari Allah SWT) yang berarti
ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, rejeki. (lihat : Kamus Arab,
kitab ta’riifat, Hisnul Muslim (Perisai Muslim). Jadi, Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban
untuk menafkahi dan melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah
lebih condong pada sifat qolbiyah atau suasana batin yang terimplementasikan
pada wujud kasih sayang, seperti cinta tulus, kasih sayang, rasa memiliki,
membantu, menghargai, rasa rela berkorban, yang terpancar dari cahaya iman.
Sifat rahmah ini akan muncul manakala niatan pertama saat melangsungkan
pernikahan adalah karena mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta
bertujuan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Ciri-ciri keluarga sakinah mawaddah wa rahmah yaitu:
1.
Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada
empat (idza aradallohu bi ahli baitin khoiran dst) yaitu: (a) memiliki
kecenderungan kepada agama, (b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua
menyayangi yang muda, (c) sederhana dalam belanja, (d) santun dalam bergaul dan
selalu introspeksi.
Dalam hadis
Nabi juga disebutkan bahwa “ empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan
kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar’i) yaitu: (a) suami atau
isteri yang setia (saleh/salehah), (b) anak anak yang berbakti, (c) lingkungan
sosial yang sehat , dan (d) dekat rizkinya.”
2.
Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling
membutuhkan, seperti pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum
libasun lahunna, Qs/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu: (a) menutup aurat,
(b) melindungi diri dari panas dingin, dan (c) perhiasan. Suami terhadap isteri
dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri
mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceritakan kepada orang lain begitu
juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke
dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami,
suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik jika saat keluar
rumah istri atau suami tampil menarik agar dilihat orang banyak. Sedangkan
giliran ada dirumah suami atau istri berpakaian seadanya, tidak menarik,
awut-awutan, sehingga pasangannya tidak menaruh simpati sedikitpun padanya.
Suami istri saling menjaga penampilan pada masing-masing pasangannya.
3.
Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang
secara sosial dianggap patut (ma`ruf) tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna
bil ma`ruf (Qs/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus
memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh
suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.
4.
Suami istri secara tulus menjalankan masing-masing
kewajibannya dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan kewajiban itu
merupakan perintah Allah SWT yang dalam menjalankannya harus tulus ikhlas.
Suami menjaga hak istri dan istri menjaga hak-hak suami. Dari sini muncul
saling menghargai, mempercayai, setia dan keduanya terjalin kerjasama untuk
mencapai kebaikan didunia ini sebanyak-banyaknya melalui ikatan rumah tangga.
Suami menunaikan kewajibannya sebagai suami karena mengharap ridha Allah.
Dengan menjalankan kewajiban inilah suami berharap agar amalnya menjadi
berpahala disisi Allah SWT. Sedangkan istri menunaikan kewajiban sebagai istri
seperti melayani suami, mendidik anak-anak, dan lain sebagainya juga berniat
semata-mata karena Allah SWT. Kewajiban yang dilakukannya itu diyakini sebagai
perinta Allah, tidak memandang karena cintanya kepada suami semata, tetapi di
balik itu dia niat agar mendapatkan pahala di sisi Allah melalui pengorbanan
dia dengan menjalankan kewajibannya sebagai istri.
5.
Semua anggota keluarganya seperti anak-anaknya, istri
dan suaminya beriman dan bertaqwa kepada Allah dan rasul-Nya (shaleh-shalehah).
Artinya hukum-hukum Allah dan agama Allah terimplementasi dalam pergaulan rumah
tangganya.
6.
Riskinya selalu bersih dari yang diharamkan Allah SWT.
Penghasilan suami sebagai tonggak berdirinya keluarga itu selalu menjaga rizki
yang halal. Suami menjaga agar anak dan istrinya tidak berpakaian, makan,
bertempat tinggal, memakai kendaraan, dan semua pemenuhan kebutuhan dari harta
haram. Dia berjuang untuk mendapatkan rizki halal saja.
7.
Anggota keluarga selalu ridha terhadap anugrah Allah
SWT yang diberikan kepada mereka. Jika diberi lebih mereka bersyukur dan
berbagi dengan fakir miskin. Jika kekurangan mereka sabar dan terus berikhtiar.
Mereka keluarga yang selalu berusaha untuk memperbaiki semua aspek kehidupan
mereka dengan wajib menuntut ilmu-ilmu agama Allah SWT.
F.
Penutup
Pernikahan
adalah sebuah anjuran yang akan menjadai wajib jika seseorang telah mampu
ataupun takut jika timbul fitnah padanya. Dalam surat An-Nahl, Allah
menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan isteri-isteri dari sejenis. Laki-laki
dan perempuan merupakan jenis yang sama, yaitu jenis manusia.
Rasulullah saw.
bersabda: “hai pemuda, barangsiapa
diantara kamu yang telah mampu kawin, maka kawinlah, karena (dengan) kawin itu
akan lebih mampu menundukkan mata dan memelihara kemaluan..” (H.R. Jamaah).
Perceraian
merupakan hal yang halal, sekalipun halal hal tersebut merupakan hal yang
dibenci Allah. Perceraian dilakukan jika tidak ada jalan keluar lain dari suatu
masalah.
Daftar
pustaka
Abdullah,
Syafi’i. Fiqih Wanita. Surabaya:
Arkola.
Abdullah,
Adil Fathi. (2007). Membentuk Keluarga
Idaman. Jakarta:Embun Publishing.
As-Subky,
Ali Yusuf. (2005). Membangun Surga dalam
Keluarga. Jakarta:Senayan Abadi.
Fahmi,
Anshorie. (2006). Buruan Nikahin Gue.
Jakarta:Al Mawardi.
Ridho,
Akram. (2011). Kado Pernikahan Terindah.
Surakarta: Ziyad Books.
Zahari,
Ahmad “dkk” .(2009). Kumpulan Peraturan
Perkawinan. Pontianak:Untan Press.
.
(2009). Hukum Kewarisan Islam.
Pontianak:Untan Press.
0 komentar:
Posting Komentar