Pages

Selasa, 17 Juni 2014

KONSEP PERNIKAHAN, KELUARGA DAN MAWARIS DALAM AGAMA ISLAM

Diposting oleh Kusrini di 15.13

KONSEP PERNIKAHAN, KELUARGA DAN MAWARIST
DALAM AGAMA ISLAM


A.           Pendahuluan
Segala sesuatu yang telah diatur dalam islam memiliki hikmah dan manfaat bagi pelakunya, baik itu diketahui maupun belum diketahui oleh manusia. Sikap seorang mu'min ketika sudah jelas datang aturan dari Allah dan Rosul Nya adalah sami'naa wa atho'naa kami dengar dan kami ta'at, sebagaimana Allah ta'ala jelaskan dalam Al Qur'an Surat An-Nuur ayat 51 :

Artinya: :
" Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung."

Pernikahan merupakan sunatullah yang diberikan bagi hamba-hamba-Nya. Allah sengaja menciptakan makhluknya secara berpasang-pasangan, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Adz-Zariyat:49 yang berbunyi:
تَذَكَّرُونَ لَعَلَّكُمْ زَوْجَيْنِ خَلَقْنَا شَيْءٍ كُلِّ وَمِنْ
Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.

Rasulullah saw. Bersabda: “rasa malu, suka wewangian, siwak, dan nikah adalah sunnah para rasul.” (H.R. Turmudzi)
Anjuran menikah terdapat dalam Surat An-Nahl: 72 dan Ar-Ruum:21  “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (Q.S. An-Nahl:72).

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Ruum:21)

B.            Konsep dan aturan Pernikahan dalam Islam dan Aturan Negara
Undang-undang RI nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 1 tertulis “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Tujuan utama sebuah pernikahan adalah mengharap ridho Allah, maka dalam setiap kegiatan rumah tangga harus menjadikan Allah sebagai landasan utama niat, karena niat adalah sebuah pondasi dari segala bentuk ibadah, "Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya bagi setiap orang tergantung apa yang ia niatkan..." (HR. Bukhari dan Muslim)

Pernikahan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai dan kedua orang tua. Jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin tersebut diperbolehkan hanya dari salah satu orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Jika keduanya telah meninggal atau keduanya tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin dapat diperoleh dari wali, atau keluarga yang memiliki hubungan darah selama mereka masih hidup dan mampu menyatakan kehendaknya, namun jika terjadi perbedaan pendapat di antara orang-orang tersebut, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan pernikahan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengarkan pendapat orang-orang tersebut.
Pernikahan tidak akan sah tanpa adanya seorang wali, seperti dalam sebuah hadist menyatakan “ Tidak sah suatu perkara tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil. Dan pernikahan manapun yang tidak demikian adalah batal” (H.R. Ibnu Hibban).
Hadist lain juga menyatakan “Tiada sah pernikahan kecuali dengan (hadirnya) wali dan dua orang saksi dan dengan mahar (mas kawin) sedikit maupun banyak.” (HR. Ath-Thabrani)

C.           Pandangan Islam Tentang Pernikahan Beda Agama
Laki-laki yang menikah dengan perempuan ahli kitab (Agama Samawi), yang dimaksud agama samawi atau ahli kitab disini yaitu orang-orang (non muslim) yang telah diturunkan padanya kitab sebelum al quran. Dalam hal ini para ulama sepakat dengan agama Injil dan Taurat, begitu juga dengan nasrani dan yahudi yang sumbernya sama. Untuk hal seperti ini pernikahannya diperbolehkan dalam islam. Adapun dasar dari penetapan hukum pernikahan ini, yaitu mengacu pada al quran,  Surat Al Maidah(5):5, “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”
Lelaki muslim menikah dengan perempuan bukan ahli kitab. Yang dimaksud dengan non muslim yang bukan ahli kitab disini yaitu kebalikan dari agama samawi (langit), yaitu agama ardhiy (bumi). Agama Ardhiy (bumi), yaitu agama yang kitabnya bukan diturunkan dari Allah swt, melainkan dibuat di bumi oleh manusia itu sendiri. Untuk kasus yang seperti ini, maka diakatakan haram. Adapun dasar hukumnya yaitu al quran al Baqarah(2):222
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Dari al quran al Baqarah(2):221 sudah jelas tertulis bahwa:
"...Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman..."

Pernikahan seorang muslim perempuan sudah menjadi hal mutlak diharamkan dalam islam, jika seorang perempuan tetap memaksakan diri untuk menikahi lelaki yang tidak segama dengannya, maka apapun yang mereka lakukan selama bersama sebagai suami istri dianggap sebagai perbuatan zina.

Pernikahan beda agama juga menghalangi silsilah dalam kewarisan islam. Dalam hukum kewarisan Syafi’i, ahli waris yang mempunyai hubungan keluarga dan perkawinan dengan pewaris jumlahnya ada 23 orang, 14 orang laki-laki dan 9 orang perempuan. Ahli waris laki-laki tersebut terdiri dari:
1.      Anak laki-laki
2.      Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah
3.      Ayah
4.      Kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas
5.      Saudara laki-laki sekandung
6.      Saudara laki-laki seayah
7.      Saudara laki-laki seibu
8.      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
9.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
10.  Paman yang sekandung dengan ayah
11.  Paman yang seayah dengan ayah
12.  Anak laki-laki ayah yang sekandung dengan paman
13.  Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
14.  Suami atau duda
Jika ke empat belas orang tersebut ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya tiga orang saja, yaitu ayah, anak laki-laki dan suami atau duda
Ahli waris perempuan terdiri dari:
1.      Anak perempuan
2.      Cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah melalui garis laki-laki
3.      Ibu
4.      Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas
5.      Nenek dari pihak ayah
6.      Saudara perempuan sekandung
7.      Saudara perempuan seayah
8.      Saudara perempuan seibu
9.      Isteri atau janda
Jika ahli waris yang sembilan tersebut ada semua, maka yang berhak mendapat warisan hanya lima orang saja, yaitu anak perempuan, dudu perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, saudara perempuan sekandung, isteri atau janda.
Jika semua ahli waris (23 orang) tersebut semuanya ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya lima orang, yaitu anak laki-laki, anak perempuan, ibu, ayah, dan duda atau janda.

D.           Perceraian dan Upaya Menghindarinya dalam Keluarga
Cerai (talak) menurut bahasa berarti melepaskan, sedangkan menurut syara’ yang dimaksud talak adalah memutuskan tali pernikahan yang sah baik diwaktu seketika  atau dimasa mendatang oleh pihak suami dengan mengucapkan kata-kata tertentu atau cara yang lain yang dapat menggantikan kedudukan hal tersebut.

Perceraian dalam islam adalah sebuah penanggulangan sebuah masalah yang tidak bisa diselesaikan, maka dalam islam tidaklah ada kebebasan menjatuhkan talak atau menuntut talak tanpa ada alasan.

Dari Ibnu ‘Umar r.a. dari Nabi saw. bersabda, “Perkara halal yang paling dibenci Allah Azza Wa Jalla adalah talak.” (H.R. Abu Daud, Ibnu Hibban, dan Al Hakim)
Allah telah berfirman:
حَكِيمًا وَاسِعًا اللَّهُ وَكَانَ سَعَتِهِ مِنْ كُلا للَّهُا يَتَفَرَّقَا وَإِنْ
Artinya: Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa’ :130).

Talak bukanlah sebuah ucapan yang sembarangan dapat dijatuhkan, jika usaha perdamaian antara kedua pihak telah dilakukan namun tidak berhasil maka ada dua syarat yang harus dipenuhi, pertama berkaitan dengan pihak penalak (suami) dan yang kedua berkaitan dengan pihak yang ditalak (isteri).
Talak yang dilakukan karena paksaan oleh pihak lain tidak dapat dihukumi, sebagaimana Allah tidak menganggap kafir bagi orang-orang yang dipaksa kafir, sebagaimana firman Allah swt. yang artinya “...kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)...” dan sebuah hadist menyatakan “Tidak sah talak maupun memerdekakan budak karena terpaksa.” (H.R. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Talak yang diucapkan dengan main-main (bergurau) adalah benar-benar terjadi, sebagaimana sebuah hadist yang artinya: “dari Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah bersabda: ‘Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya menjadi sungguh-sungguh, dan main-mainnya menjadi sungguhan, yaitu nikah, talak, dan rujuk.’” (H.R. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan At Turmudzi)
Menurut riwayat Fudhalah bin ‘Ubaid: “Ada tiga perkara yang tidak boleh diucapkan main-main, yaitu talak, nikah, dan memerdekakan budak.” (H.R. At Thabrani)
Talak yang diucapakan oleh orang yang linglung atau orang hilang akal adalah tidak sah karena tidak ada alasan yang bisa dijadikan sebagai landasan hukum, sebagaimana talak yang dilakukan dalam keadaan mabuk.
Talak ditinjau dari shighatnya dibagi menjadi talak tegas dan talak sindiran. Talak tegas yaitu jika kata-kata talak diucapkan dengan jelas dan dapat dipahami, seperti “aku menceraikanmu” atau “kau dicerai”.
Talak sindiran atau kinayah adalah talak dengan menggunakan kata-kata yang menurut aslinya tidak berarti menceraikan, seperti “kamu beda dari biasanya” atau “kamu bukan isteriku lagi”. Talak sindiran tidak mengakibatkan jatuhnya talak kecuali dengan keterangan yang jelas. Orang yang mengatakan kata talak kinayah namun ia tidak bermaksud menalak isterinya, maka talaknya belum jatuh.
Ulama Maliki dan Syafi’i memandang bahwa niatlah yang menjadi kejelasan arti dalam kinayah, jika diucapkan dengan niat menceraikan maka terjadilah perceraian, namun jika ucapannya tidak disertai dengan niat menceraikan maka tidak ada masalah.
Ulama Hambali berpendapat bahwa kata-kata kinayah bisa berakibat talak, baik dengan niat menceraikan maupun tanpa niat untuk menceraikan. Ulama Hanafi sependapat dengan Ulama Hambali.
Talak ditinjau dari waktu terjadinya dibedakan menjadi tiga, yaitu talak munjaz, talak mundhaf, dan talak mu’allaq. Talak munjaz atau perceraian kontan adalah talak yang diucapkan tanpa syarat maupun penangguhan, seperti “saya ceraikan kamu”. Kata-kata tersebut berarti menjatuhkan talak seketika.
Talak mundhaf atau perceraian bertangguh adalah ucapan talak yang dikaitkan dengan waktu, seperti “saya ceraikan kamu besok”. Menurut Abu Hanifah dan Malik kata-kata talak yang diucapkan maka seketika itu juga perceraian terjadi.
Menurut Asy Syafi’i dan Ahmad, perceraian bertangguh hanya terjadi pada penghabisan tahun.
Talak mu’allaq atau perceraian bersyarat adalah talak yang digantungkan dengan suatu peristiwa yang bakal terjadi di masa yang akan datang, seperti “jika kamu pergi ke.... kamu akan saya ceraikan”.
Menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i talak mu’allaq yang diucapkan berarti terjadi perceraian sebenarnya jika isteri melakukan syarat tersebut. Sedangkan sebagian Fuqaha yang lain berpendapat bahwa talak yang mu’allaq dimaksudkan agar isteri meninggalkan atau melakukan suatu perbuatan yang menjadi syarat tersebut.
Perceraian seperti yang telah disinggung di awal adalah halal namun dibenci oleh Allah swt. maka ada beberapa upaya untuk mencegah suatu masalah yang bisa berakibat perceraian.
Raasulullah bersabda: “Ketahuilah, hendaknya kalian memperlakukan kaum wanita dengan baik, karena sesungguhnya mereka adalah tawanan bagi kalian. Kalian tidak memiliki hak dari mereka selain itu. Kecuali jika mereka jelas-jelas melakukan kekejian, maka tinggalkanlah mereka dan tidurlah secara terpisah. Pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menciderai mereka. Jika mereka taat dan patuh pada kalian, maka jangan dihalang-halangi jalam mereka. Ketahuilah, kalian mempunyai hak atas isteri kalian. Hak kalian atas mereka adalah kalian boleh melarang mereka untuk tidak memasukkan siapapun yang tidak kalian sukai, dan tidak mengizinkan orang-orang yang tidak kamu senangiuntuk tidak memasuki rumah kalian. Ketahuilah, hak mereka atas kalian adalah memberikan pakaian dan makanan yang baik kepada mereka.” (H.R. Ibnu Majah dan Turmudzi)
Asma’ binti Kharijah al Faraziyah memberi nasihat kepada puterinya: “Sesungguhnya engkau keluar dari sarang yang telah mendewasakanmu, lalu pindah ke sebuah tempat tidur yang belum pernah engkau nikmati, dan kepada seorang teman hidup yang belum pernah engkau kenal. Maka jadilah kau buminya, niscaya ia akan menjadi langitmu. Dan jadilah engkau lantainya, maka ia akan menjadi tiangmu. Jadilah engkau hambanya, dia akan menjadi budakmu. Janganlah engkau terlalu dekat dengan suamimu, nanti dia bisa bosab terhadapmu. Dan jangan pula menjauhinya sehingga ia melupakanmu. Kalau dia mendekatimu, maka dekatlah kau kepadanya. Dan kalau dia menjauh, maka jauhilah dia. Dan pelihara selalu hidung suamimu, telinganya, dan matanya. Sekali-kali jangan sampai dia mencium darimu selain keharuman. Jangan ada yang didengar selain perkataan yang baik, dan jangan sampai melihat selain yang indah belaka.”
Seorang isteri mempunyai kewajiban menjaga kehormatannya. Rasulullah saw.  bersabda: “sebaik-baik isteri adalah perempuan yang menyenangkan jika dipandang, taat setiap kamu perintah, pandai menaga kehormatan dirinya dan hartamu sewaktu kamu pergi”. (H.R. Thabrani). Selain itu seorang isteri juga harus berwajah manis di hadapan suaminya dan patuh terhadap suaminya, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: “maukah engkau ku beritahu tentang sebaik-baik simpanan seseorang? Ia adalah wanita yang menyenangkan, apabila diperintah ia taat, dan apabila suami tiada (dirumah) ia menjaga kehormatannya”. (H.R. Abu Daud).
Dan di hadist lain“apabila seorang suami mengajak isterinya, maka penuhilah segera mungkin meskipun ia sedang berada di dapur.” (H.R. Turmudzi dan Ibnu Hibban). Bahkan di hadist lain, malaikat melaknat wanita tersebut. “apabila seorang suami mengajak isterinya ketempat tidur dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknat (wanita itu) sampai pagi”. (H.R. Muttafaq ‘Alaih).
E.            Keluarga Sakinah, Mawadah dan Warahmah dalam Islam
Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Namun, penggunaan nama sakinah itu diambil dari al Qur’an surat 30:21, litaskunu ilaiha yang artinya bahwa Allah SWT telah menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tenteram terhadap yang lain. Jadi keluarga sakinah itu adalah keluarga yang semua anggota keluarganya merasakan cinta kasih, keamanan, ketentraman, perlindungan, bahagia, keberkahan, terhormat, dihargai, dipercaya dan dirahmati oleh Allah SWT.
Di dalam keluarga sakinah itu pasti akan muncul mawaddah dan warahmah. Mawaddah adalah jenis cinta membara yang menggebu-gebu kasih sayang pada lawan jenisnya (bisa dikatakan mawaddah ini adalah cinta yang didorong oleh kekuatan nafsu seseorang pada lawan jenisnya). Karena itu, setiap mahluk Allah kiranya diberikan sifat ini mulai dari hewan sampai manusia. Mawaddah cinta yang lebih condong pada material seperti cinta karena kecantikan, ketampanan, cinta pada harta benda, dan lain sebagainya. Mawaddah itu sinonimnya adalah mahabbah yang artinya cinta dan kasih sayang.
Sedangkan Rahmah (dari Allah SWT) yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas kasih, rejeki. (lihat : Kamus Arab, kitab ta’riifat, Hisnul Muslim (Perisai Muslim). Jadi, Rahmah adalah jenis cinta kasih sayang yang lembut, siap berkorban untuk menafkahi dan melayani dan siap melindungi kepada yang dicintai. Rahmah lebih condong pada sifat qolbiyah atau suasana batin yang terimplementasikan pada wujud kasih sayang, seperti cinta tulus, kasih sayang, rasa memiliki, membantu, menghargai, rasa rela berkorban, yang terpancar dari cahaya iman. Sifat rahmah ini akan muncul manakala niatan pertama saat melangsungkan pernikahan adalah karena mengikuti perintah Allah dan sunnah Rasulullah serta bertujuan hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
Ciri-ciri keluarga sakinah mawaddah wa rahmah yaitu:
1.              Menurut hadis Nabi, pilar keluarga sakinah itu ada empat (idza aradallohu bi ahli baitin khoiran dst) yaitu: (a) memiliki kecenderungan kepada agama, (b) yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda, (c) sederhana dalam belanja, (d) santun dalam bergaul dan selalu introspeksi.
Dalam hadis Nabi juga disebutkan bahwa “ empat hal akan menjadi faktor yang mendatangkan kebahagiaan keluarga (arba`un min sa`adat al mar’i) yaitu: (a) suami atau isteri yang setia (saleh/salehah), (b) anak anak yang berbakti, (c) lingkungan sosial yang sehat , dan (d) dekat rizkinya.”
2.              Hubungan antara suami isteri harus atas dasar saling membutuhkan, seperti pakaian dan yang memakainya (hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna, Qs/2:187). Fungsi pakaian ada tiga, yaitu: (a) menutup aurat, (b) melindungi diri dari panas dingin, dan (c) perhiasan. Suami terhadap isteri dan sebaliknya harus menfungsikan diri dalam tiga hal tersebut. Jika isteri mempunyai suatu kekurangan, suami tidak menceritakan kepada orang lain begitu juga sebaliknya. Jika isteri sakit, suami segera mencari obat atau membawa ke dokter, begitu juga sebaliknya. Isteri harus selalu tampil membanggakan suami, suami juga harus tampil membanggakan isteri, jangan terbalik jika saat keluar rumah istri atau suami tampil menarik agar dilihat orang banyak. Sedangkan giliran ada dirumah suami atau istri berpakaian seadanya, tidak menarik, awut-awutan, sehingga pasangannya tidak menaruh simpati sedikitpun padanya. Suami istri saling menjaga penampilan pada masing-masing pasangannya.
3.              Suami isteri dalam bergaul memperhatikan hal-hal yang secara sosial dianggap patut (ma`ruf) tidak asal benar dan hak, Wa`a syiruhunna bil ma`ruf (Qs/4:19). Besarnya mahar, nafkah, cara bergaul dan sebagainya harus memperhatikan nilai-nilai ma`ruf. Hal ini terutama harus diperhatikan oleh suami isteri yang berasal dari kultur yang menyolok perbedaannya.
4.              Suami istri secara tulus menjalankan masing-masing kewajibannya dengan didasari keyakinan bahwa menjalankan kewajiban itu merupakan perintah Allah SWT yang dalam menjalankannya harus tulus ikhlas. Suami menjaga hak istri dan istri menjaga hak-hak suami. Dari sini muncul saling menghargai, mempercayai, setia dan keduanya terjalin kerjasama untuk mencapai kebaikan didunia ini sebanyak-banyaknya melalui ikatan rumah tangga. Suami menunaikan kewajibannya sebagai suami karena mengharap ridha Allah. Dengan menjalankan kewajiban inilah suami berharap agar amalnya menjadi berpahala disisi Allah SWT. Sedangkan istri menunaikan kewajiban sebagai istri seperti melayani suami, mendidik anak-anak, dan lain sebagainya juga berniat semata-mata karena Allah SWT. Kewajiban yang dilakukannya itu diyakini sebagai perinta Allah, tidak memandang karena cintanya kepada suami semata, tetapi di balik itu dia niat agar mendapatkan pahala di sisi Allah melalui pengorbanan dia dengan menjalankan kewajibannya sebagai istri.
5.              Semua anggota keluarganya seperti anak-anaknya, istri dan suaminya beriman dan bertaqwa kepada Allah dan rasul-Nya (shaleh-shalehah). Artinya hukum-hukum Allah dan agama Allah terimplementasi dalam pergaulan rumah tangganya.
6.              Riskinya selalu bersih dari yang diharamkan Allah SWT. Penghasilan suami sebagai tonggak berdirinya keluarga itu selalu menjaga rizki yang halal. Suami menjaga agar anak dan istrinya tidak berpakaian, makan, bertempat tinggal, memakai kendaraan, dan semua pemenuhan kebutuhan dari harta haram. Dia berjuang untuk mendapatkan rizki halal saja.
7.              Anggota keluarga selalu ridha terhadap anugrah Allah SWT yang diberikan kepada mereka. Jika diberi lebih mereka bersyukur dan berbagi dengan fakir miskin. Jika kekurangan mereka sabar dan terus berikhtiar. Mereka keluarga yang selalu berusaha untuk memperbaiki semua aspek kehidupan mereka dengan wajib menuntut ilmu-ilmu agama Allah SWT.


F.            Penutup
Pernikahan adalah sebuah anjuran yang akan menjadai wajib jika seseorang telah mampu ataupun takut jika timbul fitnah padanya. Dalam surat An-Nahl, Allah menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan isteri-isteri dari sejenis. Laki-laki dan perempuan merupakan jenis yang sama, yaitu jenis manusia.
Rasulullah saw. bersabda: “hai pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah mampu kawin, maka kawinlah, karena (dengan) kawin itu akan lebih mampu menundukkan mata dan memelihara kemaluan..” (H.R. Jamaah).
Perceraian merupakan hal yang halal, sekalipun halal hal tersebut merupakan hal yang dibenci Allah. Perceraian dilakukan jika tidak ada jalan keluar lain dari suatu masalah.


Daftar pustaka

Abdullah, Syafi’i. Fiqih Wanita. Surabaya: Arkola.

Abdullah, Adil Fathi. (2007). Membentuk Keluarga Idaman. Jakarta:Embun Publishing.

As-Subky, Ali Yusuf. (2005). Membangun Surga dalam Keluarga. Jakarta:Senayan Abadi.

Fahmi, Anshorie. (2006). Buruan Nikahin Gue. Jakarta:Al Mawardi.

Ridho, Akram. (2011). Kado Pernikahan Terindah. Surakarta: Ziyad Books.

Zahari, Ahmad “dkk” .(2009). Kumpulan Peraturan Perkawinan. Pontianak:Untan Press.

                        . (2009). Hukum Kewarisan Islam. Pontianak:Untan Press.



0 komentar:

Posting Komentar

 

Kenangan Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea